Wednesday, January 28, 2009

WAKIL RAKYAT YANG IDEAL

Wakil rakyat. Sebuah istilah yang belakangan ini identik dengan hal-hal yang berbau negatif. Mulai dari pemalsuan ijazah, pembohongan publik, penipuan, korupsi, hingga pelecehan seksual. Dan yang perlu digaris bawahi, kebanyakan dari mereka tidak memperjuangkan kepentingan rakyat yang mereka wakili tetapi mereka menjadi wakil rakyat hanya untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Dengan kondisi demikian, apakah patut mereka disebut sebagai wakil rakyat yang ‘ideal’?
Untuk membahasnya, terlebih dahulu marilah kita meninjau tentang definisi dari istilah ‘wakil rakyat’. Menurut Ginting (2008), wakil rakyat adalah orang yang mewakili rakyat dalam pemerintahan yang tujuannya untuk memperjuangkan kepentingan orang yang diwakilinya. Sedangkan menurut Davidson (2007), wakil rakyat adalah orang terpilih yang mewakili rakyat dari hasil pemilihan dan merupakan sarana untuk menampung aspirasi rakyat dan memperjuangkannya untuk kepentingan rakyat.
Dari dua pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa wakil rakyat adalah orang yang ditunjuk untuk mewakili rakyat dalam pemerintahan melalui sebuah pemilihan untuk menampung aspirasi rakyat dan memperjuangkan hak-hak orang yang diwakilinya.
Selanjutnya, Bagaimanakah kriteria wakil rakyat yang ideal itu?
Kriteria terpenting sehingga seseorang pantas disebut wakil rakyat, yaitu memperjuangkan hak-hak orang yang diwakili. Apabila seorang wakil rakyat tidak memenuhi kriteria ini, maka ia tak pantas disebut sebagai seorang wakil rakyat apalagi seorang wakil rakyat yang nota bene ‘ideal’.
Selanjutnya iman dan takwa. Sifat yang mutlak harus dimiliki oleh setiap orang, terlebih lagi bagi seorang wakil rakyat. Seorang wakil rakyat yang tidak mempunyai iman dan takwa dapat melakukan kegiatan yang melampaui batas-batas kemanusiaan. Tetapi wakil rakyat yang berpegang teguh pada iman dan takwa yang diyakininya, niscaya ia akan terhindar dari semua tindakan tercela (seperti yang disebutkan diatas) yang dapat merusak citranya sebagai wakil rakyat.
Kejujuran. Sesuatu yang sangat mendasar dalam diri manusia. Seorang wakil rakyat yang jujur tidak mungkin melakukan tindakan korupsi, pemalsuan ijazah, dan penipuan. Jadi wakil rakyat yang ideal harus memiliki sifat ini.
Pendirian tetap. Dalam sudut pandang wakil rakyat, sikap ini berwujud pada konsistensi seorang wakil rakyat tehadap janji-janji yang telah ia lontarkan pada saat kampanye. Jadi saat telah terpilih, mereka harus merealisasikan janji tersebut.
Etos kerja dan kedisiplinan. Dalam hal ini berwujud semangat seorang wakil rakyat dalam mengemban tugasnya sebagai seorang wakil rakyat. Namun sifat ini jarang dimiliki wakil rakyat di Indonesia. Penerapannya adalah pada saat DPR/MPR mengadakan pertemuan untuk membahas suatu permasalahan, banyak dijumpai wakil rakyat yang malah tidur atau tidak memperhatikan jalannya sidang. Sampai-sampai Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menegur salah seorang anggota DPR yang tidur saat beliau menyampaikan pidato kenegaraan. Kondisi ini sangat sesuai dengan lagu dari Iwan Falls berikut:
wakil rakyat seharusnya merakyat
jangan tidur waktu sidang soal rakyat
wakil rakyat bukan paduan suara
hanya tahu nyanyian lagu setuju
(http://www.kontras.org/)
Dengan kondisi demikian, pantaskah mereka kita sebut sebagai wakil rakyat?
Kemudian, seorang wakil rakyat yang ideal harus memiliki sifat berjiwa sosial dan rela berkorban. Penerapannya adalah saat rakyat yang ia wakili mengalami musibah. Sudahkah sang wakil rakyat membantu atau bahkan meninjau lokasi bencana? Nyatanya hanya segelintir wakil rakyat yang bersedia melakukan hal itu. Yang lain lebih memilih menghabiskan waktunya untuk berlibur ke luar negeri. Baru-baru ini misalnya, sejumlah anggota DPR memulai kunjungan ke Eropa pada Bulan Oktober 2008. Padahal Indonesia sedang mengalami krisis keuangan. (http://www.detiknews.com/)
Dan yang terakhir, seorang wakil rakyat yang ideal juga harus memiliki pandangan luas dalam menghadapi suatu permasalahan (open mind). Hal ini erat kaitannya dengan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan yang harus dimiliki oleh wakil rakyat tersebut. Seorang wakil rakyat yang memiliki pemikiran luas akan lebih objektif dalam memandang suatu masalah dari berbagai sudut pandang. Dalam penerapannya, maka polemik ijazah palsu harus lebih diperhatikan lagi serta dengan memperketat kriteria bagi seseorang untuk menjadi wakil rakyat, mengingat betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam diri seorang wakil rakyat.
Permasalahannya sekarang, bagaimana cara mewujudkan wakil rakyat yang memenuhi kriteria di atas?
Opsi yang pertama, pembentukan karakter wakil rakyat yang ideal dapat dilakukan dengan penanaman jiwa-jiwa pancasila sejak dini (revitalisasi nilai-nilai pancasila). Pendidikan pancasila sudah mencakup semua aspek kehidupan karena merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia.
Mulai dari sila pertama dapat mendidik jiwa religius seseorang. Dalam sudut pandang seorang wakil rakyat, ini setara dengan pendidikan iman dan takwa yang dapat mencegah tindakan tercela. Sila kedua, menekankan pada hubungan sesama manusia. Penerapannya dengan sifat rela berkorban dan saling menghormati sesama. Sila ketiga, penerapannya dalam menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Sila keempat, penerapannya dengan memperjuangkan kepentingan rakyat dan menempatkannya di atas kepentingan pribadi. Dan sila kelima diwujudkan dengan rasa keadilan terhadap seluruh rakyat yang diwakilinya. (http://pormadi.wordpress.com/)
Selain dengan penanaman jiwa-jiwa pancasila, pembentukan karakter wakil rakyat yang ideal dapat dilakukan dengan keteladanan pemimpin. Baik itu dalam lingkungan keluarga, masyarakat, ataupun sekolah.
Selanjutnya masyarakat cerdas. Kita dapat memberikan saran atau kritik kita kepada wakil rakyat guna kebaikan pemerintahan di masa selanjutnya. Karena terdapat ungkapan: “Pemimpin cerdas berasal dari masyarakat yang cerdas.” Sebagai pelajar kita juga dapat mengungkapkan aspirasi kita dengan membuat jurnal ataupun artikel mengenai wakil rakyat idaman kita.
Jadi kesimpulannya semua pihak berperan serta dalam membentuk wakil rakyat yang ideal, termasuk kita sebagai siswa juga mempunyai peranan yang penting. Oleh karena itu, kita harus turut serta dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang kondusif dengan berpartisipasi dalam dunia pemerintahan, walaupun hanya sebatas mengamati dan memberi saran. Pilihlah wakil rakyat idamanmu menurut hati nuranimu sendiri.

KARANGAN NARASI

A. DEFINISI

Karangan narasi adalah suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam satu kesatuan waktu. Atau dapat dirumuskan dengan cara lain narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi. (Gorys, Keraf: Argumentasi dan Narasi hal. 135)
Karangan narasi adalah karangan yang menceritakan suatu peristiwa atau kejadian dengan tujuan agar pembaca seolah-olah sudah menyaksikan atau mengalami kejadian yang diceritakan. (Djuharmie, E. K.: Bahasa Indonesia untuk SMA Kelas X)
Karangan narasi adalah bentuk karangan atau wacana yang mengisahkan suatu kejadian dalam rangkaian waktu. (Hatikah, Tika. Berbahasa dan Bersastra Indonesia)
Narasi adalah teks yang di dalamnya menceritakan suatu kejadian secara runtut dalam satu kesatuan waktu. (Damayanti, Nani. 2007. Berbahasa Indonesia untuk SMK Kelas XI hal. 12)
Narasi adalah suatu karangan yang isinya mengisahkan suatu peristiwa atau kejadian itu sendiri. Peristiwa yang dikisahkan dalam proa narasi berupa serangkaian tindakan atau perbuatan yang memiliki hubungan kausalitas dan terikat oleh satu kesatuan ruang dan waktu. (Suryanto, Alex. 2007. Berbahasa Indonesia untuk SMA Kelas X hal. 36-39)

B. TUJUAN

Berdasarkan definisi di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tujuan dari karangan narasi adalah :
Agar pembaca seolah-olah sudah menyaksikan atau mengalami kejadian yang diceritakan.
Berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi Menyampaikan amanat terselubung kepada pembaca atau pendengar.
Untuk menggerakkan aspek emosi.
Membentuk citra/imajinasi para pembaca.
Menyampaikan amanat terselubung kepada pembaca atau pendengar.
Memberi informasi kepada pembaca dan memperluas pengetahuan (pada narasi ekspositoris/non fiktif).
Menyampaikan sebuah makna kepada pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya (pada narasi sugestif/fiktif).

C. JENIS-JENIS NARASI
Narasi Fiktif atau Ekspositoris
Roman
Novel
Cerpen
Dongeng
Narasi Non Fiktif atau Sugestif
Sejarah
Biografi
Autobiografi
(Gorys, Keraf: Argumentasi dan Narasi halaman 141)

D. CIRI-CIRI NARASI
a. Secara Umum
Adanya unsur perbuatan atau tindakan.
Adanya unsur rangkaian waktu dan informatif.
Adanya sudut pandang penulis.
(Damayanti, Nani. 2007. Berbahasa Indonesia untuk SMK Kelas XI hal. 12)
Menggunakan urutan waktu dan tempat yang berhubungan secara kausalitas.
Terdapat unsur tokoh yang digambarkan dengan memiliki karakter atau perwatakan yang jelas.
Terdapat latar tempat, waktu, dan suasana.
Mempunyai alur atau plot.
(Suryanto, Alex. 2007. Berbahasa Indonesia untuk SMA Kelas X hal. 36-39)
b. Narasi Ekspositoris/Non Fiktif
1. Memperluas pengetahuan
2. Menyampaikan informasi mengenai suatu kejadian.
3. Didasarkan pada penalaran untuk mencapai kesepakatan rasional
4. Bahasanya lebih condong ke bahasa informatif dengan titik berat pada penggunaan kata-kata denotatif.
(Gorys, Keraf: Argumentasi dan Narasi halaman 138-139)
c. Narasi Sugestif/Fiktif
1. Menyampaikan suatu makna atau suatu amanat yang tersirat.
2. Menimbulkan daya khayal.
3. Penalaran hanya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan makna, sehingga penalaran dapat dilanggar.
4. Bahasanya lebih condong ke bahasa figuratif dengan menitikberatkan penggunaan kata-kata konotatif.
5. Banyak menggunakan majas/gaya bahasa.

E. UNSUR-UNSUR PEMBANGUN NARASI
1. Tema adalah pokok pembicaraan yang mencadi dasar penceritaan penulis.
2. Alur/plot adalah jalinan cerita, bagaimana cerita itu disusun, sehingga peristiwa demi peristiwa dapat terjalin dengan baik.
3. Watak/karakter berhubungan dengan perangai si pelaku atau tokoh dalam suatu narasi.
4. Suasana berhubungan dengan kesan yang ditimbulkan sehingga pembaca dapat ikut membayangkan dan merasakan suasana yang dihadapi pelaku.
5. Sudut pandang berhubungan dengan dari mana penulis memandang suatu peristiwa.
(Damayanti, Nani. 2007. Berbahasa Indonesia untuk SMK Kelas XI hal. 12)